7. Suasana Lebaran

Hari demi hari aku lalui, dimana setiap tahunnya sampai detik ini saya masih bisa merasakan bulan Ramadha, bulan yang penuh berkah, bulan yang suci, bulan yang maha pengampun. Dimana para penghuni kubur dibangkitkan, dan syetan-syetan diikat. Biasanya pada jaman SD sewaktu EyangUti dan EyangKung dari Ibu masih ada, saya sekeluarga mudik seminggu sebelum lebaran. Sepupu-sepupu dan sanak saudara dari luar kota pun berkumpul.

Yap, saya mudik ke Banten, Cilegon yaitu kampung halaman Ibu. Karena kampung halaman Ayah yang jauh di sebrang yaitu Gorontalo dan Ternate tidak memungkinkan kami kesana sebab Nenek dari sebelah Ayah sudah meninggal dunia semenjak saya masih dibangku TK dan Kakek yang sudah meninggal sejak Ayah masih kecil. Nenek juga sudah lama tinggal di Jakarta bersama Ayah, semenjak Ayah membangun rumah di Jakarta.

Saya yang merasa sangat dekat dengan Nenek merasa sangat kehilangan, karena Nenek tidak bisa melihat saya sudah besar seperti sekarang. Suasana Ramadhan sangat berubah setelah saya telah kehilangan Nenek, EyangKung, dan EyangUti. Tahun demi tahun lebaran untuk pulang kampung tidak seperti dahulu. Dimana kami mudik setelah lebaran dan hanya 1 sampai 4 hari menginap di Cilegon. Sepupu-sepupu yang sudah beranjak dewasa pun memiliki kesibukan masing-masing. Ada yang diluar kota karna kuliah dan kerja. Bahkan sekarang sudah pada menikah.

Tetapi kehangatan suasana Lebaran masih terasa hangat kaerena bersyukur kedua orangtuaku hingga sampai sekarang diberi umur panjang dengan usianya yang semakin hari semakin tua. Sampai saat ini sudah memiliki 1 cucu.

Leave a comment